Langsung ke konten utama

Review Jurnal "Hubungan Ketidakmerataan Pendapatan dengan Konsumsi Gizi”





Review Jurnal

 “Tingkat Pendapatan, Kecukupan Energi dan Hidden Hunger dengan Status Gizi Balita”

            Status gizi merupakan keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dari makanan dengan kebutuhan zat gizi usia orang tersebut, jenis kelamin, aktivitas tubuh dalam sehari, berat badan, dan lainnya (Harjatmo dkk, 2017). Ada tiga indeks yang dapat menggambarkan status gizi balita yaitu indeks berat badan menurut umur (BB/U) menggambarkan kondisi underweight, tinggi badan menurut umur (TB/U) menggambarkan kondisi stunting, dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) menggambarkan kondisi wasting. Berdasarkan hasil pemantauan status gizi tahun 2016, persentase balita di Provinsi Bengkulu berdasarkan indeks BB/U 8,4%, indeks TB/U 22,9% dan indeks BB/TB 12,4% (Kemenkes RI,2017).

Status gizi balita dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor langsung yaitu asupan dan riwayat penyakit infeksi. Sedangkan faktor tidak langsung diantaranya yaitu pekerjaan, pola asuh ibu, jumlah keluarga dan status sosial ekonomi yang dilihat dari tingkat pendapatan. Di Indonesia, walaupun tingkat kemiskinan mengalami penurunan, masih ada beberapa provinsi yang mengalami kemiskinan. Data SUSENAS menunjukkan ada enam provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi termasuk didalamnya Provinsi Bengkulu dengan angka kemiskinan sebesar 17,09%. Pendapatan yang kurang akan mempengaruhi asupan makanan. Penelitian yang dilakukan Indarti (2016), menunjukkan bahwa pendapatan orangtua berhubungan dengan status gizi balita. Asupan makanan yang kurang baik menyebabkan terjadinya defisiensi atau kekurangan zat gizi. Kekurangan zat gizi yang sering ditemui terjadi balita ialah kekurangan asupan energi.

Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak, dan protein yang ada didalam makanan. Kekurangan asupan energi menjadi berat apabila diikuti dengan terjadinya kekurangan zat gizi mikro. Hal ini dikarenakan masyarakat dengan pendapatan rendah lebih memilih asupan makanan yang hanya dapat memenuhi kebutuhan energi dan mengenyangkan perut saja. Kekurangan zat gizi mikro disebut juga dengan hidden hunger atau kelaparan tersembunyi. Di Indonesia, kekurangan zat gizi mikro masih perlu mendapat perhatian. Kekurangan zat gizi mikro yang masih menjadi fokus utama yaitu Iodium, Vitamin A, Zink dan Zat Besi (Dewan Ketahanan Pangan, 2014). Kebutuhan tubuh akan zat gizi mikro hanya sedikit, namun jika tidak dipenuhi akan berakibat fatal. Kekurangan salah satu zat gizi terutama zat gizi mikro mempengaruhi status gizi masyarakat. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan pertumbuhan anak menjadi terhambat. Defisiensi zat besi dapat menyebabkan anemia, defisiensi vitamin A menyebabkan xefofthalmia, defisiensi zink menyebabkan masalah kulit dan menurunnya fungsi imun, serta defisiensi iodium menyebabkan gangguan akibat kekurangan iodium (West et al, 2009). Berdasarkan penjabaran diatas, penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran dan hubungan antara tingkat pendapatan, kecukupan energi dan hidden hunger dengan status gizi balita.

 Tujuan penleitian dari jurnal ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat pendapatan, kecukupan energi dan hidden hunger dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Jembatan Kecil Kota Bengkulu tahun 2018. Desain penelitian cross sectional. Populasi penelitian balita yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Jembatan Kecil, sampel sebanyak 67 responden yang diperoleh dengan teknik simple random sampling. Pengukuran tingkat pendapatan keluarga menggunakan kuesioner dan tingkat kecukupan energi dan hidden hunger menggunakan form recall 24 jam. Sedangkan pengukuran status gizi balita menggunakan Standar WHO Anthro 2005. Uji statistik Chi-Square. Sedangkan didapatkan penelitian dimana  tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan status gizi balita (p>0,05) dan ada hubungan antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi balita indeks BB/U dengan p 0,029 (p<0,05) dan indeks TB/U p-value 0,018 (p<0,05). Tidak ada hubungan antara Hidden Hunger dengan status gizi balita (p>0,05). Tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan, kecukupan energi dan hidden hunger dengan status gizi balita. Diharapkan adanya konsultasi atau penyuluhan gizi seimbang serta partisipasi aktif dari orang tua agar dapat menjaga dan menerapkan pola makan dan asupan makan bergizi seimbang pada anak.

Pembahasan

“Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Status Gizi Balita”

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan status gizi balita. Pendapatan atau income yaitu sesuatu yang timbul atau dihasilkan dari aktifitas produksi. Pendapatan penting bagi setiap orang dalam usaha memenuhi kebutuhan sehari-hari. Makin tinggi pendapatan seseorang makin banyak pula kebutuhan hidup sehari-hari yang dapat terpenuhi (Setiawan, 2012). Susilowati (2014) mengungkapkan bahwa pendapatan rumah tangga terdiri dari penghasilan pekerjaan pokok perbulan dan penghasilan pekerjaan sampingan perbulan. Analisis pendapatan rumah tangga ditujukan untuk memahami besarnya tingkat pendapatan rumah tangga, distribusi pendapatan rumah tangga dan struktur pendapatan rumah tangga. Peningkatan pendapatan rumah tangga dapat digunakan sebagai indikator meningkatnya daya beli rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya (Maulana dkk, 2010).

Pendapatan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, modal usaha, jenis pekerjaan dan pengalaman usaha. Keluarga dengan pendapatan yang lebih rendah akan memprioritaskan pada pangan yang harga murah, seperti pangan sumber energi, kemudian dengan semakin meningkatnya pendapatan akan terjadi perubahan konsumsi yaitu dari pangan yang harga murah beralih ke harga pangan yang mahal, yaitu sumber protein (Herawati dkk, 2011). Hampir setengah responden keluarga dengan tingkat pendapatan tinggi memiliki balita dengan status gizi tidak normal. Hal ini dikarenakan rumah tangga dengan pendapatan yang lebih tinggi tidak selamanya akan meningkatkan konsumsi zat gizi. Rumah tangga atau individu yang memiliki pendapatan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang disukai saja dan biasanya makanan tersebut tidak bergizi tinggi.

Pendapatan rumah tangga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Secara garis besar pengeluaran rumah tangga dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu pengeluaran untuk pangan dan non pangan. Dengan demikian, pada tingkat tertentu kelompok rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan atau pengeluaran rumah tangganya. Besaran pendapatan yang diproksi dengan pengeluaran total yang dibelanjakan untuk pangan dari suatu rumah tangga dapat digunakan sebagai indikator kesejahteraan rumah tangga tersebut (Salim dan Darmawaty, 2016). Pengeluaran rumah tangga memberikan hubungan yang negatif dengan status gizi balita. Hal ini menunjukkan bahwa dengan semakin rendahnya persentase pengeluaran pangan rumah tangga maka status gizi balita akan semakin baik. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan rumah tangga yang terkait dengan meningkatnya pendapatan rumah tangga (Rusyantia dkk, 2010).

Rumah tangga dengan pangsa pengeluaran pangan tinggi menunjukkan tingkat kesejahteraan yang relatif rendah dibandingkan dengan rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan rendah. Semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan, berarti semakin kurang sejahtera rumah tangga yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin kecil pangsa pengeluaran pangan maka rumah tangga tersebut semakin sejahtera (Lindawati dan Saptanto, 2014). Penelitian yang dilakukan Suryani (2017), menunjukkan bahwa ada perbedaan yang jelas antara alokasi untuk konsumsi pangan masyarakat miskin dan kaya. Makin rendah tingkat kesejahteraan rumah tangga atau makin miskin suatu rumah tangga maka makin condong untuk lebih banyak mengalokasikan pengeluarannya pada kebutuhan pangan dibanding dengan non pangan. Sebaliknya makin tinggi kesejahteraan rumah tangga maka makin cenderung untuk lebih banyak mengalokasikan pengeluarannya pada kebutuhan non pangan.

Namun, rumah tangga dengan pendapatan yang lebih tinggi tidak selamanya akan meningkatkan konsumsi zat gizi. Hal ini dikarenakan, rumah tangga atau individu yang memiliki pendapatan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang disukai saja dan biasanya makanan tersebut tidak bergizi seimbang. 

 

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada jurnal tersebut, saya beropini bahwa meskipun di

Indonesia tingkat kemiskinan mengalami penurunan, masih ada beberapa provinsi yang mengalami kemiskinan. Data SUSENAS menunjukkan ada enam provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi termasuk didalamnya Provinsi Bengkulu dengan angka kemiskinan sebesar 17,09%, hali ini menunjukan bahwa masih terjadi ketidakmerataan pendapatan. Dimana Pendapatan yang kurang juga dapat mempengaruhi asupan makanan.

Dari Ketimpangan pendapatan ini juga menunjukkan adanya ketimpangan distribusi pendapatan perkapita antar kelompok masyarakat. Menurut Todaro (2009), bagian pendapatan yang diterima golongan penduduk berpendapatan tinggi jauh lebih besar. Disamping itu diperkuat pula oleh laju pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih tinggi.  

Sedangkan untuk tingkat pendapatan jika dikaitkan dengan ketersediaan pangan, tingkat konsumsi pangan sampai pada pola konsumsi pangan dari beberapa penelitian memiliki beberapa hasil yang berbeda hal ini tentu juga dipengaruhi beberapa faktor lainnya diantaranya kecenderungan individu tersebut dalam menyikapi pengeluaran pendapatan untuk mencukupi kebutuhannya baik kebutuhan pangan atau non pangan.

Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan status gizi balita. Pendapatan atau income yaitu sesuatu yang timbul atau dihasilkan dari aktifitas produksi. Hal ini didasari bahwa rumah tangga dengan pendapatan yang lebih tinggi tidak selamanya akan meningkatkan konsumsi zat gizi dikarenakan, rumah tangga atau individu yang memiliki pendapatan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang disukai saja dan biasanya makanan tersebut tidak bergizi seimbang.   

Jadi ketidakmerataan pendapatan hubungannya dengan tingkat konsumsi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang saja. Seperti  yang  diungkapkan  oleh  Ernest  Engel, yang  dikenal sebagai Hukum Engel bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk pangan  akan  menurun  dengan  meningkatnya  pendapatan.

 

Refrensi Jurnal

Jurnal Kesehatan Volume 9, Nomor 3, 

November 2018 ISSN 2086-7751 (Print), I

SSN 2548-5695 (Online) http://ejurnal.poltekkes-tjk.ac.id/index.php/JK

 

 

#TugasEkonomiPangandanGizi #Unimus #Semester6 #S1Gizi #Gizi

Terima Kasih sudah membaca ^^ 

Semoga Bermanfaat

"Berharap Anda Meninggalkan Kesan di Kolom Komentar :)"

08/01/2021

22.53

(A/UGN)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak Pandemi terhadap Peningkatan Prevalensi Triple Burden of Malnutrition dan Strategi Pencegahannya

    Pandemi COVID-19 yang terjadi di berbagai negara termasuk di Indonesia memberikan dampak dibeberapa segi kehidupan, salah satu diantaranya potret gizi di Indonesia. Selama pandemi berlangsung terdapat beberapa kebijakan pemerintah   terkait dengan pembatasan mobilitas sosial mulai dari PSBB (Pembatasan Sosial Bersakala Besar) tahun 2020 hingga PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) ditahun 2021, tentunya pembatasan mobilitas berefek pada beberapa kegiatan pelayanan kesehatan di masyarakat seperti kegiatan POYANDU (Pos Pelayanan Terpadu) baik balita atau lanjut usia, penyuluhan kesehatan ataupun kegiatan sosial lainnya. Berdasarkan survey Litbangkes (2020) kegiatan pelayanan kesehatan dan gizi di masa pandemi sebesar 43,51% tidak ada (tidak jalan), 37,23% berkurang, 18,7% tetap dan 0,56% meningkat selain itu persentase kunjungan PIS-PK (Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga) sebesar 43,07% berkurang. Secara tidak langsung pembatasan sosial te...

HASTAG DARI IBU JARI (#)

#Opini Bimillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Semangat Pagi ! Salam Mahasiswa ! Teman-teman, media sosial merupakan wajah dari hak setiap individu untuk dapat berpendapat, berekspresi, berbagi setingkat tangga dunia. Sesederhana satu kata, satu bait, atau hanya sekedar satu tagar sungguh tak asing lagi jika kata yang terketik pada mesin ketik sederhana itu bisa dengan mudah langsung mewarnai kota sosial media, membuka pikiran seluruh dunia untuk dapat secara sepihak sepakat sependapat dalam satu peryataan yang seharusnya kita pertanyakan terlebih dahulu hakikatnya, tentu hal tersebut sebagai filter terhadap diri kita untuk dapat dengan sebaik mungkin mencerna tuntas informasi yang ada sebelum pada akhirnya menerima dan merepostnya . Ya..itulah fakta hebat dari dunia soaial media. Kita pun perlu berhati-hati dalam mengunggugah jangan sampai menimbulkan perpecahan, Teman..taukah? salah satu dari seorang aktivis dari kalangan fenimisme Yasmine ...